Sabtu, 30 Juni 2012

Kelarutan Intrinsik Obat



 


KELARUTAN INTRINSIK OBAT

A.    Tujuan

Adapun tujuan diadakannya praktikum ini, yaitu :
Memperkenalkan konsep dan proses pendukung system kelarutan obat dan menentukan parameter kelarutan zat.

B.     Tinjauan Pustaka

Dalam istilah farmasi, larutan didefinisikan sebagai sediaan “cair yang mengandung satu atau lebih zat kimia yang dapat larut, biasanya dilarutkan dalam air, yang karena bahan-bahannya, cara peracikan atau penggunaanya, tidak dimasukkan kedalam golongan   produk lainnya (Efendi,2003).
Larutan dapat didefinisikan sebagai campuran homogen dari dua zat atau lebih yang terdispersi sebagai molekul ataupun ion yang komposisinya dapat bervariasi. Disebut homogen karena komposisi dari larutan begitu seragam (satu fasa) sehingga tidak dapat diamati bagian-bagian komponen penyusunnya meskipun dengan mikroskop ultra. Dalam campuran heterogen permukaan-permukaan tertentu dapat diamati antara fase-fase yang terpisah (Koesman, 2007).
Dalam istilah kimia fisik, larutan dapat disiapkan dari campuran yang mana saja dari tiga macam keadaan zat yaitu padat, cair dan gas. Misalnya suatu zat terlarut padat dapat dilarutkan baik dalam zat padat lainnya, cairan atau gas, dengan cara yang sama untuk zat terlarut dan gas, ada 9 tipe campuran homogen yang mungkin dibuat (Ansel, 2005).
Kelarutan adalah kadar jenuh solute dalam sejumlah solven pada suhu tertentu yang menunjukkan bahwa interaksi spontan satu atau lebih solute atau solven telah terjadi dan membentuk dispersi molekuler yang homogeni. Suatu larutan dikatakan jenuh apabila terjadi kesetimbangan antara fase solute dan fase solven dalam larutan yang bersangkutan. Kelarutan dapat diungkapkan melalui banyak cara antara lain dengan menyatakan jumlah pelarut (dalam ml) yang dibutuhkan untuk setiap gram solute, dengan pendekatan berupa perbandingan, missal : 1 bagian solute dapat larut dalam 100-1000 bagian solven disebut sukar larut, fraksi mol dan molar (Anonim, 2012).
Pada literatur lain kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan jenuh pada suatu suhu tertentu. Larutan sebagai campuran homogen bahan yang berlainan. Untuk dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat dalam cairan. Disamping itu terdapat larutan dalam keadaan padat (misalnya gelas, pembentukan kristal campuran) (R. Voight,1994).
            Kelarutan suatu zat (solute) dalam solven tertentu digambarkan sebagai like dissolves like senyawa atau zat yang strukturnya menyerupai akan saling melarutkan, yang penjabarannya didasarkan atas polaritas antara solven dan solute yang dinyatakan dengan tetapan dielektrikum, atau momen dipole, ikatan hydrogen, ikatan van der waals (London) atau ikatan elektrostatik yang lain (Anonim, 2012). Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan konsentrasi maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut tersebut. Bila suatu pelarut pada suhu tertentu melarutkan semua zat terlarut sampai batas daya melarutkannya, larutan ini disebut larutan jenuh (Efendi, 2003).
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat adalah:
1.      pH
2.      Temperatur
3.      Jenis pelarut
4.      Bentuk dan ukuran partikel
5.      Konstanta dielektrik pelarut
6.      Adanya zat-zat lain, misalnya surfaktan pembentuk kompleks ion sejenis dan lain-lain (Tim asisten., 2008).
            Kelarutan gas dalam cairan dipengaruhi tekanan, suhu, salting out, dan reaksi kimia, sedangkan perhitungan kelarutan dapat dilakukan menurut hukum henry (tetapan) maupun koefisien absorpsi Bunsen. Kelarutan cairan dalam cairan dapat digolongan menjadi dua atas dasar ada tidaknya penyimpangan terhadap hukum Raoult. Disebut larutan ideal (larutan nyata = real solution) apabila tidak ada penyimpangan terhadap hukum raoult dan disebut larutan non ideal apabila ada penyimpangan.
            Kelarutan zat padat dalam cairan merupakan masalah yang paling kompleks tapi paling banyak dijumpai dalam kefarmasian. Asumsi dasar untuk kelarutan zat padat dalam (sebagai) larutan ideal adalah tergantung pada suhu percobaan (proses larut), suhu (titik) lebur solute, dan beda entalpi peleburan molar solute (yang dianggap sama dengan panas pelarutan molar solute) (Anonim, 2012).
            Kelarutan obat sebagian besar disebabkan oleh polaritas pelarut yaitu oleh momen dipolnya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionic dan zat polar lainnya. Sesuai dengan itu, air bercampur dengan alcohol dalam segala perbanding an dengan melarutkan gula dan senyawa polihidroksi lain (R. Voight, 1994).
            Jenis-jenis  pelarut  yang  biasanya  digunakan  untuk  melarutkan  antara  lain
a)      Pelarut Polar
Kelarutan  obat  sebagian  besar  disebabkan  oleh  polaritas  dari  pelarut,  yaitu momen dipolnya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionik dan zat polar lain. Sesuai dengan itu, air bercampur dengan alkohol dalam segala perbandingan dan  melarutkan  gula  dan  senyawa  polihidroksi  lain.  Air  melarutkan  fenol, alkohol,  aldehid,  keton  amina  dan  senyawa  lain  yang  mengandung  oksigen dan nitrogen yang dapat membentuk ikatan hidrogen dalam air.
b)      Pelarut non polar
Aksi  pelarut  dari  cairan  non  polar  seperti  hidrokarbon  berbeda  dengan  zat polar. Pelarut non polar tidak dapat mengurangi gaya tarik menarik antara ion elektrolit  kuat  dan  lemah,  karena  tetapan  dielektrik  pelarut  yang  rendah. Pelarut  juga  tidak  dapa memecahkan  ikatan  kovalen  dan  elektrolit  dan berionisasi lemah karena pelarut non polar tidak dapat membentuk jembatan hidrogen  dengan  non  elektrolit.  Oleh  karena  itu,  zat  terlarut  ionik  dan  polar tidak dapat larut atau hanya dapat larut sedikit dalam pelarut non polar.
Tetapi  senyawa  non  polar  dapamelarutkan  zat  terlarut  non  polar  dengan tekanan yang sama melalui interaksi dipol induksi. Molekul zat terlarut tetap berada  dalam  larutan  dengan  adanya  sejenis  gaya  van  der  waals   London lemah. Maka, minyak dan lemak larut dalam karbon tetraklorida, benzena dan minyak mineral. Alkaloida basa dan asam lemak larut dalam pelarut non polar.
c)       Pelarut Semipolar
                  Pelarut semipolar seperti keton  dan  alkohol dapat  menginduksi suatu derajat polaritas  tertentu  dalam  molekul  pelarut  non  polar,  sehingga  menjadi  dapat larut  dalam  alkohol,  contoh  :  benzena  yang  mudah  dapat  dipolarisasikan kenyataannya  senyawa  semipolar  dapat  bertindak  sebagai  pelarut  perantara yang  dapat  menyebabkan  bercampurnya  cairan  polar  dan  non  polar (Anonim, 2011).
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat non polar sukar larut di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Besarnya tetapan dielektrik ini menurut moore dapat diatur dengan penambahan pelarut lain. Tetapan dielektrik suatu campuran pelarut merupakan hasil penjumlahan dari tetapan dielektrik masing-masing yang sudah dikalikan dengan % volume masing-masing komponen pelarut. Adakalanya suatu zat lebih mudah larut dalam pelarut campuran dibandingkan pelarut tunggalnya. Fenomena ini dikenal dengan istilah co-solvency dan pelarut yang mana dalam bentuk campuran dapat menaikkan kelarutan suatu zat disebut co-solvent. Etanol, gliserin dan propilen glikol adalah co-solvent yang umum digunakan dalam bidang farmasi untukpembuatan eliksir. (Ansel, 2005)
            Salisilat termasuk dalam golongan obat anti inflamasi non steroid ( AINS).  Mekanisme kerja adalah menghambat sintesis Prostaglan-din dengan menghambat kerja enzim siklooksigenase pada pusat termoregulator di hipothalamus dan perifer. Salisilat sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Salisilat digunakan sebagai analgetik, antipiretik, anti inflamasi, anti fungi (Darsono, Lusiana. 2002).
            Untuk mengetahui efektifitas kelarutan obat di dalam tubuh, salah satu cara yang digunakan adalah uji disolusi. Waktu kelarutan obat dalam tubuh sangat erat hubungannya dengan efektifitas obat tersebut untuk menghilangkan rasa sakit. Waktu kelarutan obat pada uji disolusi dianggap sebagai waktu kelarutan obat didalam tubuh. Semakin cepat larut suatu obat maka semakin efektif obat tersebut bekerja (Rachdiati, henny. 2008).

A.    Alat dan Bahan

1.   Alat

Adapun alat yang digunakan yaitu :
-          Tabung reaksi 7 buah
-          Corong 1 buah
-          Statif dan kleim 1 buah
-          Erlenmeyer 1 buah
-          Pipet tetes 10 ml 1 buah
-          Filler 1 buah
-          Buret 1 buah
-          Kerts saring 7 buah

2.      Bahan

Adapun bahan yang digunakan yaitu :
-          Aquades
-          Etanol 95%
-          Indokator fenolftalein
-          Asam salisilat 7 gram
-          NaOH 0,1 N
-          Propylengglikol

A.    Hasil Pengamatan

1.      Tabel Pengamatan

Tabung
Volume (ml)
Asam salislat
Volume NaOH
aquades
ethanol
P.glykol
1
6
0
4
1
1,2
2
6
0,5
3,5
1
3,6
3
6
1
3
1
6,8
4
6
1,5
1,5
1
0,3
5
6
3
1
1
1,9
6
6
3,5
0,5
1
3,9
7
6
4
0
1
2,0

A.    Pembahasan

Pada percobaan ini dilakukan uji kelarutan asam salisilat yang merupakan bahan obat fungi pada pelarut campur pelarut campur ini terdiri dari etanol sebagai turunan dari alcohol, aquades, dan propilenglikol. bila ditinjau dari kemampuan melarutkannya air merupakan pelarut polar, etanol adalah pelarut semi polar dan propylengglikol merupakan pelarut non polar. Pada literatur prinsip kelarutan like dissolved like menyatakan suatu zat hanya dapat larut dalam pelarut yang sejenis dengannya, tentu saja  dalam hal ini yang polar hanya akan larut dalam pelarut polar, yang semi polar juga hanya akan larut pada pelarut semi polar, dan zat yang non polar akan larut pada pelarut non polar. Asam salisilat dengan rumus struktur yang terdiri dari gugus OH dan gugus benzen, membuat asam salisilat menjadi zat yang bersifat semipolar, ditandai dengan gugus OH sebagai penanda polar dan gugus benzen sebagai penanda non polar, sehingga asam salisilat hanya akan larut sempurna pada pelarut semi polar, dalam hal ini etanol.
Percobaan ini diawali dengan pembuatan pelarut campur. Aquades diberikan perlakukan yang sama yaitu dipipet sebanyak 6 ml untuk setiap tabung reaksi, lalu dimasukkan etanol yang dibedakan volumenya pada  setiap tabung dan begitu pula dengan propylengglikol. Pada tabung pertama tidak diberikan etanol dan pada tabung ke tujuh tidak diberikan prolyengglikol. Setelah pelarut campur telah disatukan dalam tabung, asam salisilat dimasukan kedalam tabung tersebut.  setiap tabung diisi 1 gr asam salisilat. Setelah asam salisilat dimasukan, pelarut dan asam salisilat digojok selama 30 menit didalam tabung reaksi. Pengojokan selama 30 menit ini adalah cara untuk membantu asam salisilat larut dalam pelarut campur ini. Setelah 30 menit penggojokan, tidak banyak perubahan yang dapat terlihat dari larutan hasil penggojokan, hanya larutan keruh dan sejumlah asam salisilat yang tertinggal dibawah permukaan tabung.
Langkah selanjutnya,  larutan dipisahkan dari sisa asam salisilat yang tertinggal dengan cara disaring dan larutan dimasukan kedalam erlenmeyer untuk selanjutnya di berikan beberapa tetes indicator fenolftalein dan dititrasi dengan NaOH.  Bila dilihat pada hasil percobaan pada volume NaOH yang dibutuhkan untuk mencapai titik akhir titrasi atau sampai terjadinya perubahan warna setiap tabung berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena diberikan variasi volume etanol dan propylengglikol pada setiap tabung. Banyak sedikitnya NaOH yang dibutuhkan untuk mencapai batas titrasi dipengaruhi oleh kelarutan asam salisilat dengan pelarut campurnya. Pada tabung 1 dan tabung 7 contohnya, tabung 1 tidak diberikan etanol sehingga asam salisilat tidak larut pada pelarut apapun, karena asam salisilat hanya dapat larut pada pelarut semi polar saja, sehingga ketika dilakukan penyaringan seluruh asam salisilat ikut tersaring dengan kata lain pada proses titrasi hanya terjadi pada larutan propilenglikol, air dan NaOH saja sehingga volume NaOH yang dibutuhkan pun lebih sedikit dibandingkan dengan tabung 7. Pada tabung 7, dimasukan 4 ml etanol dan 0 ml propylenglikol. Banyaknya volume etanol dalam pelarut campur tersebut membuat konstanta dielektrik menjadi rendah, dengan rendahnya konstanta dielektrik membuat kelarutan asam salisilat menjadi tinggi. Larutnya asam salisilat dalam pelarut membuat NaOH untuk memutuskan ikatan membutuhkan waktu yang lama dan volume yang digunakan pun lebih banyak. Namun bila ditinjau pada  hasil yang diperoleh dari praktikum ini, volume NaOH yang tertinggi terjadi pada larutan tabung 3, yang seharusnya terjadi pada tabung 7. Begitu juga dengan volume NaOH yang terendah terjadi pada larutan tabung 4 yang seharusnya terjadi pada tabung 1. Hal ini mungkin terjadi karena kelalaian pada saat praktikum. 

A.    Kesimpulan

Adapun kesimpulan dari praktikum ini yaitu :
Kelarutan adalah  jenuh solute dalam sejumlah solven pada suhu tertentu yang menunjukkan bahwa interaksi spontan satu atau lebih solute atau solven telah terjadi dan membentuk dispersi molekuler yang homogeni. suatu zat hanya dapat larut pada pelarut yang sejenis dengan zat tersebut, konsep ini dikenal dengan prinsip like dissolves like. Kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh jenis pelarut dan konstanta dielektrik, dimana konstanta dielektik berbanding terbalik dengan kelarutan suatu zat. Bila konstanta dielektriknya besar, maka kelarutannya kecil, begitupun sebaliknya.  


Buffer dan kapasitas buffer

      
BUFFER DAN KAPASITAS BUFFER

A.    Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum kali ini yakni memperkenalkan cara pembuatan buffer dan menetapkan pH larutan, serta penentuan kapasitasnya.

B.     Landasan Teori.

Larutan adalah campuran homogen dua zat atau lebih yang saling melarutkan dan masing-masing zat penyusunnya tidak dapat dibedakan lagi secara fisik.  Zat yang jumlahnya lebih sedikit di dalam larutan disebut (zat) terlarut atau solut, sedangkan zat yang jumlahnya lebih banyak daripada zat-zat lain dalam larutan disebut pelarut atau solven. Komposisi zat terlarut dan pelarut dalam larutan ini dinyatakan dalam konsentrasi larutan, sedangkan proses pencampuran zat terlarut dan pelarut membentuk larutan disebut pelarutan atau solvasi (Ghinina, 2011).
Buffer dapat didefinisikan sebagai campuran asam/basa lemah dengan garamnya yang dapat mempertahankan Ph larutan saat ditambahkan asam/basa dalam jumlah relatif sedikit. Mekanisme buffer dapat mempertahankan pH larutan adalha akibat pengaruh ion yang sama (common ion effect) (Anonim : 2012). Adanya alkalinitas dalam reactor dengan konsentrasi tertentu dapat menjadi penyangga (Buffer) agar pH tetap pada kondisi netral apabila terjadi penambahan asam, sehingga kesetimbangan proses dengan normal (Padmono,Djoko,2007)
secara keseluruhan dapat tetap berjalanPada referensi lain dijelaskan larutan penyangga atau larutan buffer atau larutan dapar merupakan suatu larutan yang dapat menahan perubahan pH yang besar ketika ion – ion hidrogen atau hidroksida ditambahkan, atau ketika larutan itu diencerkan (Underwood, A.L., 2002 ). Buffer dapat mempertahankan pH nya tidak berarti pH tidak akan berubah. Perubahan dan gangguan yang besar dalam sistem dapat merubah pH meskipun telah ditambahkan buffer ke dalamnya. Hal ini karena buffer hanya menjaga agar pH tidak terlalu berubah signifikan dengan adanya perubahan konsentrasi ion hidrogen dalam system (Alpiopiot : 2012).
Larutan penyangga terjadi karena adanya campuran asam lemah dengan basa konjugasinya (dalam garam) atau campuran basa lemah dengan basa konjugasinya (dalam garam) (Forum Tentor : 2011). Kebutuhan buffer kadang menyulitkan karena hampir setiap analisa membutuhkan kondisi pH tertentu yang relatif stabil. Karena banyaknya macam dan jenis buffer, pemilihan buffer yang akan digunakan menjadi masalah tersendiri. Dalam memilih buffer, yang harus diperhatikan adalah pH optimum serta sifat-sifat biologisnya. Banyak jenis buffer yang mempunyai impact terhadap sistem biologis, aktivitas enzim, substrate, atau kofaktor (wahyu : 2008).
Komponen larutan penyangga terbagi menjadi:
1.         Larutan penyangga yang bersifat Asam.
Larutan ini mempertahankan pH pada daerah asam (pH < 7). Untuk mendapatkan larutan ini dapat dibuat dari asam lemah dan garamnya yang merupakan basa konjugasi dari asamnya. Adapun cara lainnya yaitu mencampurkan suatu asam lemah dengan suatu basa kuat dimana asam lemahnya dicampurkan dalam jumlah berlebih. Campuran akan menghasilkan garam yang mengandung basa konjugasi dari asam lemah yang bersangkutan. Pada umumnya basa kuat yang digunakan seperti natrium, kalium, barium, kalsium, dan lain-lain.
2.         Larutan  penyangga yang bersifat basa.
Larutan ini mempertahankan pH pada daerah basa (pH > 7). Untuk mendapatkan larutan ini dapat dibuat dari basa lemah dan garam, yang garamnya berasal dari asam kuat. Adapun cara lainnya yaitu dengan mencampurkan suatu basa lemah dengan suatu asam kuat dimana basa lemahnya dicampurkan berlebih (Pencinta Lingkungan:2010).


Larutan Penyangga asam :
HA                  H+ + A-
Penambahan asam kuat atau ion H+ pada larutan ini akan meningkatkan jumlah ion H+ dalam larutan, maka akan mendesak ion H+ yang ada, sehingga menggeser reaksi kesetimbangan ke kiri. Pergeseran ini menyebabkan jumlah ion A- dalam larutan berkurang karena digantikan oleh jumlah ion A- dari garam sehingga jumlahnya relatif tetap untuk mempertahankan kesetimbangan tersebut. Ion H+ yang ditambahkan akan bereaksi dengan ion CH3COO- membentuk molekul CH3COOH. Jika yang ditambahkan ke dalam larutan adalah basa, maka ion OH- yang berasal dai basa tersebut akan bereaksi dengan ion H+ membentuk air. Hal ini akan menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan sehingga konsentrasi ion H+ dapat dipertahankan atau pH larutan buffer asam tersebut tetap stabil atau bertahan. Apabila suatu basa lemah dicampur dengan asam konjugasinya maka akan terbentuk suatu larutan buffer basa. Larutan ini akan mempertahankan pH pada daerah basa (pH > 7). Misalnya larutan campuran NH3 dengan ion amonium (NH4+). Larutan buffer basa juga dapat terjadi dari campuran suatu basa lemah dengan suatu asam kuat di mana basa lemah dicampurkan berlebih (Underwood, A.L., 2002 ).
Larutan penyangga basa :
Jika ke dalam larutan ditambahkan suatu asam kuat, maka ion H+ yang berasal dari asam itu akan mengikat atau bereaksi dengan ion OH-. Hal itu menyebabkan kesetimbangan larutan menjadi bergeser ke kanan sehingga konsentasi ion OH- dapat dipertahankan atau dengan kata lain pH larutan stabil atau dapat bertahan. Demikian juga pada penambahan suatu basa kuat, jumlah ion OH- dalam larutan akan bertambah. Hal ini akan menyebabkan kesetimbangan larutan menjadi bergeser ke kiri sehingga konsentasi ion OH- dapat dipertahankan dan pH larutan tidak berubah (Underwood, A.L., 2002 ).
Contoh :  NH4OH dengan NH4Cl. Adapun cara kerjanya dapat dilihat pada larutan penyangga yang mengandung NH3 dan NH4+ yang mengalami kesetimbangan. Dengan proses sebagai berikut:
       Pada penambahan asam
Jika ditambahkan suatu asam, maka ion H+ dari asam akan mengikat ion OH-. Hal tersebut menyebabkan kesetimbangan bergeser ke kanan, sehingga konsentrasi ion OH- dapat dipertahankan. Disamping itu penambahan ini menyebabkan berkurangnya komponen basa (NH3), bukannya ion OH-. Asam yang ditambahkan bereaksi dengan basa NH3 membentuk ion NH4+.
NH3 (aq)  +  H+(aq)  →  NH4+ (aq)
       Pada penambahan basa
Jika yang ditambahkan adalah suatu basa, maka kesetimbangan bergeser ke kiri, sehingga konsentrasi ion OH- dapat dipertahankan. Basa yang ditambahkan itu bereaksi dengan komponen asam (NH4+), membentuk komponen basa (NH3) dan air.
NH4+ (aq) +  OH-(aq)  →  NH3 (aq)  +  H2O(l)  (Anonim : 2011).
Keefektifan suatu larutan penyangga dalam menahan perubahan pH persatuan asam atau basa kuat ditambahkan, mencapai nilai maksimumnya ketika rasio asam penyangga terhadap garam adalah satu. Dalam titrasi asam lemah, titik maksimum keefektifan ini dicapai bila asam tersebut ternetralkan separuh, atau pH = pKa. Kapasitas suatu penyangga merupakan ukuran keefektifannya dalam perubahan pH pada penambahan asam atau basa. Semakin besar konsentrasi asam dan basa konjugasinya, semakin besar kapasitas penyangga. Kapasitas penyangga dapat didefinisikan secara kuantitatif dengan jumlah mol basa kuat dibutuhkan untuk mengubah pH 1 L larutan sebesar 1 pH satuan (Vogel : 1979).


C.       Alat dan Bahan

·            Alat

Adapun Alat yang digunakan pada praktikum ini yaitu :

1.      Statif dan klem
2.      Buret
3.      Erlenmeyer
4.      Corong
5.      Gelas kimia 250 mL
6.      Gelas ukur 50 mL
7.      Filler
8.      Piper ukur 10 mL dan 25 mL
9.      Pipet tetes

·            Bahan

Adapun bahan yang digunakan pada praktikum ini yaitu :
1.      NaOH 0,1 M
2.      CH3COOH 0,1 M 65 mL, 4 mL, 7 mL
3.      Asam Sitrat 0,1 M 39,8 mL
4.      CH3COONa 0,1 M 135 mL, 196 mL, 193 mL.
5.      Indicator phenolftalein
6.      NaH2PO4




A.    Pembahasan

Pada praktikum ini, dilakukan pembentukan buffer dengan menggunakan pasangan asam lemah dan garamnya. Asam lemah yang digunakan yaitu asam asetat dengan garamnya natrium asetat
CH3COOH + NaOH                            CH3COONa + H2O
     Asam                                                   Garam
dan asam sitrat dan natrium sitrat. Berdasarkan pengertian buffer pada literature, maka asam lemah akan dicampur dengan garamnya dengan volume yang telah ditentukan hingga membentuk larutan. Selain dilakukan pembentukan buffer, kali ini juga akan diukur pH awal dan pH setiap 1 ml NaOH pada  proses titrasi dengan menggunakan pH meter.
Buffer yang telah dibuat diambil 10 ml lalu disimpan pada gelas ukur, lalu diukur pH awal. Setelah itu, larutan buffer ditambahkan beberapa tetes indicator phenolftalein lalu dititrasi dengan menggunakan NaOH sebagai basa kuat pentitran. Pada buffer asetat dibuat dalam 3 kapasitas, yaitu kapasitas 0,01 0,015 dan 0,10. Angka 0,01 0,015 dan 0,10 adalah nilai resisten atau kemampuan untuk mempertahankan pH suatu larutan buffer. Buffer asetat untuk kapasitas 0,01 10 ml mempunyai pH awal 7,88 yang bila dibandingkan dengan pH yang seharusnya dimiliki suatu larutan asam tidak sesuai. Pada literature, larutan asam memiliki pH < 7. Perbedaan pH asam ini mungkin terjadi karena kelalaian pada saat praktikum. Selanjutya buffer 0,01 tadi ditambahkan 2 tetes indicator fenolftalein dan dititrasi dengan NaOH. Tujuan awal adalah mengukur pH setiap titrasi 1 ml NaOH, tetapi  buffer asetat telah mencapai batas titrasi pada volume 0,2 ml NaOH yang ditandai dengan perubahan warna dengan pH akhir 12. Bila dibandingkan pH awal dan pH akhir terjadi kenaikan pH sebesar 4,12. Hal ini membuktikan teori bahwa pH pada buffer dapat berubah dengan adanya pengenceran. Selanjutnya dilakukan perlakuan yang sama pada buffer asetat dengan kapasitas 0,015 dan 0,10. Diperoleh pH awal untuk buffer asetat kapasitas 0,015 sebesar 7,1 dan mencapai akhir titran pada volume 0,2 ml NaOH dengan pH akhir 11,7. Buffer asetat kapasitas 0,10 diperoleh pH awalnya sebesar 6,2 dan mencapai batas titrasi pada volume 0,4 ml NaOH dengan pH akhir 11,5.
Pada pembuatan buffer fosfat, diambil sejumlah volume asam sitrat dan NaH2PO4 yang disatukan dalam gelas kimia 250 ml, dilarutkan kedua larutan ini hingga menjadi larutan buffer fosfat. Lalu diambil 10 ml sampel dan diukur pH awal dan diperoleh pH awal sebesar 2,6. Selanjutnya ditetesi 2 tetes indicator, dan dititrasi seperti pada percobaan buffer asetat. Dilakukan titrasi hingga terjadi perubahan warna, dan setiap 1 ml NaOH diukur pH larutan. Pada 1 ml NaOH awal, diperoleh pH larutan sebesar 5,2. Pada 2 ml NaOH, pH larutan naik menjadi 6,2. pH terus bertambah setiap ml penambahan NaOH pada proses titrasi. Hingga akhir titrasi, pH larutan sebesar 11,1 pada volume 4,6 ml NaOH.
Dari percobaan ini, kemampuan buffer asetat dengan kapasitas 0,01 dalam mempertahankan pH lebih baik dibandingkan buffer fosfat, buffer asetat kapasitas 0,015 dan 0,1, dimana buffer asetat dengan kapasitas 0,01 mencapai titik akhir titrannya pada volume NaOH 0,2 ml dengan merubah pH dari 7,8 menjadi 12, terjadi kenaikan sebesar 4,2. Sedangkan pada buffer fosfat, untuk mencapai akhir titrasinya dibutuhkan 4,6 ml dan merubah pH dari 2,6 menjadi 11,1. Terjadi kenaikan yang sangat besar yaitu 8,5.





B.                 Kesimpulan


Adapun kesimpulan dari praktikum ini :
Diperoleh pH larutan buffer. pH awal buffer fosfat 2,6 dan mencapai akhir tittasi pada volume 4,6 ml NaOH dengan pH akhir 11,1. Ph awal buffer asetat kapasitas 0,01 adalag 7,8 dan mencapai akhir titrasi pada volume 0,2 ml NaOH dengan pH akhir 12. Ph awal buffer asetat kapasitas 0,015 yairu 7,1 dan mencapai akhir titrasi pada volume 0,2 ml NaOH dengan pH akhir 11,7. pH awal buffer asetat kapasitas 0,10 adalah 6.2 dan mencapai akhir titrasi pada volume 0,4 ml NaOH dengan pH akhir 11.5.