Senin, 02 Juli 2012

Apparent Solubility


KELARUTAN SEMU/TOTAL
(APPARENT SOLUBILTY)

A.    Tujuan

Adapun tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pH larutan terhadap kelarutan bahan obat yang bersifat asam lemah.

B.     Landasan Teori

Untuk menyatakan kelarutan zat kimia, istilah kelarutan dalam pengertian umum kadang – kadang perlu digunakan, tanpa mengindahkan perubahan kimia yang mungkin terjadi pada pelarutan tersebut. Pernyataan kelarutan zat dalam bagian tertentu pelarut  adalah kelarutan pada suhu 20o dan kecuali dinyatakan lain menunjukkan bahwa, 1 bagian boboy zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam bagian volume tertentu pelarut (Anonim, 1979).
Kelarutan adalah kadar jenuh solute dalam sejumlah solven pada suhu tertentu yang menunjukkan bahwa interaksi spontan satu atau lebih solute atau solven telah terjadi dan membentuk dispersi molekuler yang homogeni. Suatu larutan dikatakan jenuh apabila terjadi kesetimbangan antara fase solute dan fase solven dalam larutan yang bersangkutan. Kelarutan dapat diungkapkan melalui banyak cara antara lain dengan menyatakan jumlah pelarut (dalam ml) yang dibutuhkan untuk setiap gram solute, dengan pendekatan berupa perbandingan, missal : 1 bagian solute dapat larut dalam 100-1000 bagian solven disebut sukar larut, fraksi mol dan molar (Anonim, 2012).
Pada literatur lain kelarutan diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan jenuh pada suatu suhu tertentu. Larutan sebagai campuran homogen bahan yang berlainan. Untuk dibedakan antara larutan dari gas, cairan dan bahan padat dalam cairan. Disamping itu terdapat larutan dalam keadaan padat (misalnya gelas, pembentukan kristal campuran) (R. Voight,1994).
Kelarutan semu total maksudnya seolah-olah suatu zat telah larut total, tetapi sebenarnya masih ada zat yang tidak larut. Kelarutan merupakan perameter yang perlu diketahui dalam penelitian perefomasi suatu obat menjadi suatu sediaan farmasi. Sebelum obat dapat terabsorpsi menembus membran, obat melalui fase pelarutan dalam cairan tubuh pelarutan didalam cairan tubuh. Kelarutan obat sering kali dipengaruhi oleh Ph, suhu, sifat pelarut, konsentrasi, ukuran partikel, kosolvensi, solubility atau zat-zat penglarut (Nugroho, 2000 ).
Bahan-bahan obat berupa senyawa organik yang bersifat asam lemah atau basa lemah, dengan demikian faktor pH sangat mempengaruhi kelarutannya.Untuk obat-obat  yang bersifat  asam lemah, pada asam lemah, pada pH yang absolut rendah zat tersebut peraktis tidak mengalami ionisasi. Kelarutan obat dalam bentuk ini sering disebut sebagai kelarutan intrinsik. Jika pH dinaikan, maka kelarutannyapun akan meningkat, karena selain membentuk larutan jenuh obat dalam bentuk molekul yang tidak terionkan (kelarutan intrinsik) juga terlarut obat yang terbentuk ion (Zulkarnain, dkk.2008 ).
Untuk obat-obat  yang bersifat  asam lemah, pada asam lemah, pada pH yang absolut rendah zat tersebut praktis tidak mengalami ionisasi. Kelarutan obat dalam bentuk ini sering disebut sebagai kelarutan intrinsik. Jika pH dinaikan, maka kelarutannyapun akan meningkat, karena selain membentuk larutan jenuh obat dalam bentuk molekul yang tidak terionkan ( kelarutan intrinsic ) juga terlarut obat yang terbentuk ion (Shargel.dkk,1999 ).
Gravimetri merupakan cara pemeriksaan jumlah zat yang paling tua dan yang paling sederhana  dibandingkan dengan cara pemeriksaan kimia lainnya. Analisis gravimetri adalah cara analisis kuantitatif berdasarkan berat tetap ( berat konstan)- nya. Dalam analisis ini, unsur atau senyawa yang dianalisis dipisahkan dari sejumlah bahan yang dianalisis. Bagian terbesar analisis gravimetri menyangkut perubahan unsur atau gugus dari senyawa yang dianalisis menjadi  senyawa lain yang murni dan stabil sehingga dapat diketahui berat tetapnya. Berat unsur atau gugus yang dianalisis selanjutnya dihitung dari rumus senyawa serta berat atom penyusunnya ( Gholib,dkk, 2007).
Dalam grafimetri, endapan yang diinginkan adalah endapan hablur kasar, karena endapan seperti ini mudah disaring dan dicuci. Selain itu, lantaran luas permukaan endapan hablur kasar itu lebih kecil daripada luas permukaan endapan hablur halus, maka endapan hablur kasar ini lebih sedikit mengandung kotoran.
Dalam grafimetri, endapan biasanya dikumpulkan dengan penyaringan cairan induknya melalui kertas saring atau alat penyaring kaca masir. Kertas saring yang digunakan dalam grafimetri terbuat dari selulosa yang sangat murni sehingga jika dibakar hanya meninggalkan sisa abu sangat sedikit. Lazimnya kertas saring itu dibagi atas tiga kelompok yakni kertas saring yang berpori besar, sedang dan kecil. Pemilihan ketas saring itu tergantung pada sifat endapan yang akan disaring. Sebaliknya, alat penyaring kaca masir digunakan bila endapan yang disaring tidak akan dipijar setelah setelah penyaringan, tetapi hanya dikeringkan saja.
Selain dengan penyaringan, endapan dapat pula dipisahkan dengan cara pengenap-tuangan. Dengan cara ini, endapan yang berada dalam cairan induknya diendapkan beberapa saat, kemudian cairan bagian atasnya dituangkan ke dalam wadah lain. Pekerjaan ini dilakukan berulang-ulang sampai semua cairan terpisah dari endapan.
Setelah dipisahkan, endapan diubah bentuknya menjadi bentuk timbang dengan cara  pengeringan atau pemijaran. Pengeringan dilakukan untuk memisah air, elektrolit yang terjerap dan kotoran-kotoran yang mudah menguap lainnya, sedangkan pemijaran dilakukan untuk memperoleh bentuk timbang yang sesuai.
Grafimetri dapat digunakan untuk menentukan hampir semua anion dan kation anorganik serta zat-zat netral seperti air, belerang dioksida, karbon dioksida dan iodium. Selain itu, berbagai jenis senyawa organik dapat pula ditentukan dengan mudah secar grafimetri. Contoh-contohnya antara lain: penentuan kadar laktosa dalam susu, salisilat dalam sediaan obat, fenolftalein dalam obat pencahar, nikotina dalam pestisida, kolesterol dalam biji-bijian dan benzaldehida dalam buah-buahan tertentu. Jadi, sebenarnya cara grafimetri merupakan salah satu cara yang paling banyak dipakai dalam pemeriksaan kimia (Rivai,1995).
Dapar adalah senyawa-senyawa atau campuran senyawa yang dapat meniadakan perubahan pH terhadap penambahan sedikit asam atau basa. Peniadaan perubahan pH tersebut dikenal sebagai aksi dapar. Bila ke dalam air atau larutan natrium klorida ditambahkan sedikit asam atau basa kuat, pH larutan akan berubah. System ini dikatakan tidak beraksi dapar.
Faktor-faktor yang mempengaruhi pH larutan dapar yaitu, akibat pengenceran. Penambahan air dalam jumlah cukup, jika tidka mengubah pH dapat mengakibatkan penyimpangan positif atau negative sekalipun kecil sekali, karena air selain dapat mengubah nilai koefisien keaktifan ia juga dapat bertindak sebagai asam lemah atau basa lemah. Dengan adanya pengenceran larutan dapar, pH  menjadi ½ kali kekuatan mula-mula (Martin,2009).

C.    Alat dan Bahan

1.      Alat

Adapun alat yang digunakan yaitu :
  • a.       Labu Erlenmeyer 3 buah
  • b.      Pipet 10 ml 1 buah
  • c.       Filler 1buah
  • d.      Kertas saring 3 lembar
  • e.       Timbangan analitik
  • f.       Corong
  • g.      Oven

2.      Bahan

Adapun bahan yang digunakan :
  • a.       Dapar fosfat 5 ml pH 3,4, dan 5
  • b.      Asam benzoat 0,6 gram
        D. Hasil Pengamatan

1.      Table pengamatan

No.
pH
Berat kertas saring
Asam Benzoat tidak larut (gram)
 [berat K.S akhir.awal]
Awal
Akhir
1.
3
0,29 g
0,49 g
0,20 g
2.
4
0,26 g
0,39 g
0,13 g
3.
5
0,28 g
0,50 g
0,22 g
 1.      Tabel berdasarkan hasil perhitungan data

No.
pH
A
B
C
D
E
F
1.
3
0,29
0,2
0,39
0,10
0
1
2.
4
0,2
0,2
0,39
0,13
0,43
2,18
3.
5
0,28
0,2
0,50
0,22
-0,032
0,87

Keterangan tabel :

A = Massa kertas saring
B = Massa asam benzoate
C= Massa kertas saring + massa asam benzoat
D = Massa asam benzoat yang tidak larut
E = Kelarutan intrinsic (So)
F = Kelarutan semu (S)

E.    Pembahasan

Pada praktikum kali ini, dilakukan percobaan  terhadap bahan obat asam benzoat dengan dapar fosfat pada pH tertentu, dimana tujuan dilakukannya percobaan ini yaitu untuk mengetahui pengaruh pH terhadap kelarutan asam benzoat. Percobaan ini diawali dengan penimbangan asam benzoat 0,2 gram sebanyak 3 kali penimbangan. Sementara itu, larutan dapar fosfat pH 3,4,dan 5 dimasukan kedalam labu erlenmeyer masing-masing 5 ml. Lalu asam benzoat hasil penimbangan dimasukan kedalam labu dan dikocok selama 20 menit. Pengocokan dilakukan untuk membantu asam benzoat larut dalam pelarut dapar.
Hasil reaksi kimia antara asam benzoat dan larutan dapar ini menghasilkan endapan putih yang merupakan sisa benzoat yang tidak larut. Endapan yang terbentuk karena molekul obat/asam benzoat tidak terdisosiasi diproduksi dalam konsentrasi yang cukup untuk mencapai kelarutan. Pada saat proses solvasi, tarikan antarpartikel komponen murni terpecah dan tergantikan dengan tarikan antara dapar fosfat dengan asam benzoat, sehingga terbentuk suatu sruktur zat pelarut mengelilingi zat terlarut dimana hal ini memungkinkan interaksi antara zat terlarut dan pelarut tetap stabil. Bila secara kasat mata, dari ketiga tabung yang paling sedikit terlihat endapan putihnya yaitu pada labu erlenmeyer dengan dapar fosfat pH 4, dan yang paling banyak yaitu pada labu dengan pH buffer 5.
Sisa asam benzoat lalu dikeringkan dengan menggunakan oven untuk menguapkan sisa pelarut yang terdapat pada residu. Hasil pengeringan ditimbang kembali dengan timbangan analitik dan data yang diperoleh, pada pH 3 sisa asam benzoat yaitu sebesar 0,2 gram dari 0,2 gram berat asam benzoat awal, berarti larutan dapar pH 3 tidak melarutkan sedikitpun asam benzoat. Lalu pada pH 4, berat asam benzoat yang tidak larut adalah 0,13 gram dari 0,2 gram berat awal, berarti ada 0,07 gram asam yang larut dalam larutan dapar. Dari 2 data ini, mulai menunjukan pengaruh pH terhadap kelarutan asam benzoat dalam pelarutnya. Pada pH 5, berat asam benzoat sisa melebihi berat asam benzoat awal, dimana seharusnya berat sisa harus lebih kecil atau sama dengan berat awal. Hal ini mungkin terjadi karena kelalaian pada saat melakukan praktikum.
Penurunan berat asam benzoat yang semula 0,2 gram menjadi bervariasi menunjukan kemampuan setiap pH pelarut dalam mendispersi zat. Hal ini sesuai dengan teori yang ada, bahwa salah satu dari faktor penyebab kelarutan yaitu karena pH. Semakin besar pH yang diberikan, maka semakin tinggi kemampuan melarutkan zat. Selain itu, pH juga mempengaruhi pergerakan laju reaksi dari suatu larutan. Bila ditinjau pada kurva, hubungan antara kelarutan semu dan pH, maka kelarutan semu berbanding lurus dengan pH, selain itu hubungan kelarutan semu dan kelarutan intrinsik adalah juga berbanding lurus, bila kelarutan intrinsik besar maka kelarutan semu juga besar.




F.     Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini yaitu :
Pada kelarutan semu, larutnya suatu bahan obat yang bersifat asam lemah kedalam pelarut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor dan  salah satunya adalah pH. pH berbanding lurus dengan kelarutan semu, dimana bila pH pelarut besar maka daya melarutkan atau kelarutan semunya besar begitupun sebaliknya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1979,  Farmakope Indonesia Edisi III, Departemen Kesehatan.
 Jakarta.

Kharis,Ahmad, et all. 2000. Pengaruh Propilen Glikol Terhadap Kelarutan Semu Teofilin dan Kofein. J.kimia. Vol.11(3), halaman : 161.

Nugroho, A.K. SuwaldiMartodiharjo, TejoYuwonoPengaruh Propilen Glikol Terhadap Kelarutan Semu Teofilin dan Kofein. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada. Majalah Farmasi Indonesia. 2002. Yogyakarta.

Pharmacokinetics, 5th Ed.,vol 85-86, Mc. Graw and Hill, Singapore
Prof. Dr.ibnu gholib ganjar, DEA., Apt, abdul rohman, M.Si.,Apt, 2007,  kimia farmasi analisis, yogyakarta, UGM

Rivai, H .2006. Asas Pemeriksaan Kimia. Universitas Indonesia Press.Jakarta
Shargel,Ldan Yu. 1999. Biofarmasetika dan farmasetika terapan. Terjemahan oleh Fasich dan Sjamsiah, S. edisi kedua. Airlangga press. Surabaya. 85-132.

Voigt, Rudolf, 1995,Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi 5,  Universitas Gajah Mada Press: Bandung.

Zulkarnain, Abdul Karim. Arundita Kusumawida. Triani Kurniawati. Pengaruh Penambahan Tween 80 dan Polietilen Glikol 400 Terhadap Absorpsi Piroksikam Melalui Lumen usus in situ. Fakultas Farmasi Universitas Gajah Mada. Majalah Farmasi Indonesia. 2008. Yogyakarta. 19(1), 25 – 31, 2008.









Tidak ada komentar:

Posting Komentar