LAPORAN
PRAKTIKUM FARMASI FISIK I
PERCOBAAN III
KOEFISIEN PARTISI
OLEH :
NAMA
: NURRAMADHANI.A.SIDA
STAMBUK : F1F1
11 114
KELAS : A
KELOMPOK : 5
ASISTEN : LD. ABD. KADIR
LABORATORIUM
FARMASI
PROGRAM
STUDI FARMASI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS
HALUOLEO
KENDARI
2012
A. TUJUAN
Adapun tujuan diadakannya praktikum ini
yaitu :
Mengetahui
pengaruh pH terhadap koefisien partisi obat yang bersifat asam lemah dalam
campuran pelarut kloroform-air.
B. LANDASAN TEORI
Koefisien
partisi adalah distribusi kesetimbangan dari analit antara fasa sampel dan fasa
gas, dan kesetimbangan dari perbandingan kadar zat dalam dua fase. Koefisien
partisi minyak-air adalah suatu petunjuk sifat lipofilik atau hidrofobik dari
molekul obat. Lewatnya obat melalui membran lemak dan interaksi dengan
makromolekul pada reseptor kadang-kadang berhubungan baik dengan koefisien
partisi oktanol/air dari obat. (Alfred,1990).
Koefisien
distribusi atau koefisien partisi didefinisikan sebagai perbandingan antara
fraksi berat solute dalam fase ekstrak dibagi dengan fase berat solute dalam
fase rafinat dalam keadaan kesetimbangan (Kamiyatun, 2008).
Koefisien
partisi lipida – air suatu obat adalah perbandingan kadar obat dalam fase
lipoid dan fase air setelah dicapai kesetimbangan. Peranan koefisien partisi
obat dalam bidang farmasi sangat penting. Teori-teori tentang absorbs, ekstraksi,
dan kromatografi banyak terkait dengan teori koefisien partisi (Anonim : 2012).
pH
adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan keasaman atau kebasahan
larutan. Asam lemah adalah asam yang hanya terionisasi sebagian dalam air dan
salah satu contohnya adalah asam salisilat. Asam salisilat adalah sebuah asam
karboksilat yang lebih bersifat asam dari pada alcohol atau fenol. Sifat faali
dari asam karboksilat berbobobt molekul rendah ialah baunya. Reaksi suatu asam
lemah dengan air bersifat reversible. Kesetimbangan terletak pada sis
persamaan, yang energinya lebih rendah. Sifat struktur apa saja yang menstabilkan
anion dibandingkan dengan asam konjugasinya, akan menambahn kuat asam denga
cara menggeser letak kesetimbangan kea rah sisi H3O+ dan
anion (A-) (Fesseden dan Fesseden,1986).
Pada umumnya, obat-obat bersifat
asam lemah dan basa lemah. Jika obat tersebut dilarutkan dalam air, sebagian
akan terionisasi. Besarnya fraksi obat yang terionkan tergantung pH larutannya.
Obat-obat yang tidak terionkan lebih mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang
dalam bentuk ion kelarutannya kecil atau bahkan praktis tidak larut, dengan
demikian pengaruh pH terhadap kecepatan absorpsi obat yang bersifat asam lemah
atau basa lemah sangat besar.
Adanya pemahaman tentang koefisien
partisi dan pengaruh pH pada koefisien partisi akan bermanfaat dalam hbungannya
dengan ekstraksi dan kromatografi obat. Semakin besar nilai koefisien
partisinya maka semakin banyak senyawa dalam pelarut organic. Nilai koefisien
partisi suatu senyawa tergantung pelalrut organic tertentu yang digunakan untuk
melakukan pengukuran.
Beberapa pengukuran koefisien
partisi dilakukan dengan menggunakan partisi air dan n-oktanol, karena
n-oktanol dalam banyak hal menyerupai membrane biologis dna juga merupakan
model yang baik pada kromatografi fase terbalik. Beberapa obat mengandung
gugus-gugus yang mudah mengalami ionisasi. Oleh Karen aitum koefisien partisi
obat-obat ini pada pH tertentu sulit diprediksi terlebih jika melibatkan lebih
dari 1 gugus yang mengalami ionisasi. Meskipun demikian, sering kali, salah satu
gugus dalam satu molekul obat lebih mudah mengalami ionisasi daripada gugus
yang lain pada pH tertentu (Gholib, ibnu, 2007).
Larutan jenuh adalah suatu larutan dimana zat terlarut
berada dalam kesetimbangan dengan fase padat (zat terlarut). Kelarutan obat
sebagian besar disebabkan oleh polaritas dari pelarut, yaitu oleh dipole
momemnnya. Pelarut polar melarutkan zat terlarut ionic dan zat polar lain. Aksi
pelarut dari cairan non polar, seperti hidrokarbon, berbeda dengan zat polar.
Pelarut nonpolar tidak dappat mengurangi gaya tarik-menarik antara ion-ion
elektrolit kuat dan lemah, Karena tetapan dielektrik pelarut yang rendah.
Pelarut juga tidak dapat memecah ikatan kovalen dan elektrolit yang berionisasi
lemah karena pelarut nonpolar termasuk golongan pelarut aprotik, dan tidak
dapat membentuk jembatan hydrogen dengan nonelektrolit. Oleh karena itu zat
terlarut ionic dan polar tidak larut atau hanya dapat larut sedikit dalam
pelarut nonpolar (Martin,2009).
C. ALAT DAN BAHAN
1. Alat
Adapun alat yang digunakan, yaitu :
-
Spektrometer
-
Pipet ukur 10 ml
-
Filler 1 buah
-
Gelas kimia 100 ml 3 buah
-
Labu Erlenmeyer 3 buah
-
Kuvet 1 buah
-
Water bath
2. Bahan
Adapun
bahan yang digunakan, yaitu :
-
Dapar asam salisilat, pH 3,4, dan 5
-
Kloroform (CHCl3)
-
Air
-
FeCl3
E. HASIL PENGAMATAN
1. Tabel hasil pemisahan fasa air dan kloroform
pH
larutan
|
Fasa
Air
|
Fasa
Kloroform
|
3
|
10,5
ml
|
4
ml
|
4
|
10
ml
|
4
ml
|
5
|
10
ml
|
4,2
ml
|
2. Tabel
hasil pengukuran absorbansi, C2o, C2’.
pH larutan
|
Absorbansi (A)
|
C2o
(M)
|
C2 1
|
APC
|
3
|
0,285
|
0,48.10-2
|
7,1.10-3
|
|
4
|
0,375
|
0,86.10-3
|
9,35.10-3
|
|
5
|
0,084
|
0,93.10-4
|
2,09.10-3
|
F. PEMBAHASAN
Pada
percobaan ini, dilakukan pengukuran koefisien partisi dan absorbansi dari
campuran dapar obat asam salisilat dengan kloroformn yang merupakan lipida.
Bila ditinjau dari kepolaran kedua larutan yang digunakan, maka secara teoritis
kedua larutan tersebut hanya sedikit yang dapat saling melarutkan bahkan
disimpulkan tidak ada yang melarut. Berpatokan dengan prinsip like dissolves
like, maka larutan dapar asam salisilat akan larut dengan pelarut polar dan kloroform larut dalam pelarut nonpolar. Percobaan
ini diawali dengan pencampuran dapar salisilat dan kloroform dalam labu
Erlenmeyer, lalu dimasukan kedalam waterbath. Pemanasan dilakukan untuk
membantu dalam proses melarutkan dan mempercepat tercapainya pemisahan fasa air
dan fasa kloroform.
Penggunaan
inkubasi atau waterbath dalam proses pemanasan bertujuan untuk melindungi
system dari gangguan lingkungan. Setelah
20 menit masa inkubasi, dapat dilihat batas antara fasa air dan fasa kloroform.
Lalu larutan dipisahkan antara fasa air dan fasa kloroform, dan fasa yang
diambil untuk dihitung absorbansinya yaitu fasa air. Dari hasil yang diperoleh
pada pH 3 fasa air yang diambil yaitu 10,5 ml, pH 4 fasa air yang diambil sebesar
10 ml, dan pH 5 fasa air yang diambil 10 ml. Berbicara mengenai berat jenis
atau bobot jenis suatu larutan, air memiliki bobot jenis lebih rendah dari
kloroform, maka proses pemisahan kedua larutan ini dengan membuang larutan
bagian bawah yang merupakan kloroform hingga garis kesetimbangan jenuh.
Kesetimbangan jenuh terjadi ketika air dan lipida atau kloroform benar-benar
nampak berpisah, biasanya ditandai dengan terdapatnya garis pembatas diantara 2
larutan ini.
Penggunaan
buffer sebagai larutan polar dalam praktikum ini dikarenakan oleh kemampuan
buffer untuk mempertahankan pH walau diberikan sedikit asam atau basa. Ketika
larutan buffer dicampurkan dengan kloroform maka ion H+ yang
merupakan asam yang berasal dari
kloroform tidak akan merusak atau mengubah konsentrasi atau pH dari buffer
tersebut. Larutan buffer salisilat dalam diganti dengan larutan salisilat namun
kemungkinan konsentrasinya berubah cukup besar.
Dari
hasil pemisahan antara fasa air dan fasa lipid, fasa yang akan diamati besar
absorbansinya atau kemampuan menangkap cahayanya yaitu fasa air. Setiap gelas
kimia yang berisi sisa air ditambahkan FeCl3, dimana penambahan FeCl3
ini hanya untuk memberikan warna pada larutan agar data absorbansinya dapat
dibaca oleh spectrometer cahaya yang ada. Pemberian FeCl3 pada
larutan mengubah warna larutan menjadi ungu/violet yang menandakan adanya
derivate salisilat didalam larutan. Lalu larutan dimasukan kedalam kuvet dan
dihitung absorbansinya. Dari data, absorbansi terbesar yaitu pada pH 4 sebesar 0,375, dan absobansi
terendah pada pH 5.
Bila
dilihat pada kurva absorbansi terhadap pH, garis data dimulai dari pH 3 rendah
lalu meninggi pada pH 4 dan menurun kembali pada pH 5. Lalu perhatikan kurva
hubungan koefisien partisi dengan pH, perubahan yang terlihat sama dengan
perubahan yang terjadi pada kurva absobansi terhadap pH. Obat-obat yang
bersifat asam lemah bila dilarutkan dalam air, sebagian akan terionisasi.
Besarnya fraksi obat yang terionkan tergantung pH larutan, dimana pH berbanding
lurus dengan kelarutan. Semakin besar pH semakin besar kelarutan, besarnya
kelarutan semakin sedikit jumlah yang terionisasi. Obat-obat yang tidak terionkan
lebih mudah larut dalam lipida, sebaliknya yang dalam bentuk ion kelarutannya
kecil atau bahkan praktis tidak larut, dengan demikian semakin besar pH semakin
mudah larut dalam lipida maka semakin besar koefisien partisinya. Bila ditilik
kembali kurva hubungan koefisien partisi dan pH pada praktikum ini, perubahan
nilai koefisien partisi pada pH 3 menunjukan kenaikan ketika pHnya naik menjadi
4, tetapi menurun kembali ketika pH 5, hal ini mungkin terjadi karena kelalaian
pada saat melakukan praktikum.
G. KESIMPULAN
Adapun
kesimpulan yang dari praktikum ini, yaitu :
Dari Percobaan yang dilakukan dapat
disimpulkan bahwa pengaruh pH terhadap koefisien partisi obat yang bersifat asam lemah adalah berbanding lurus. Semakin besar pH maka koefisien partisi juga semakin besar.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim,
2012. Penuntun Praktikum Farmasi Fisika I.
Universitas Haluoleo,Kendari.
Golib,
Ibnu, 2007. Kimia Farmasi Analisis.
Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Fesseden
& Fesseden, 1986. Kimia Organik Edisi
Ketiga Jilid 1. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Kasmiyatun,Mega,
dkk. 2008. Ekstraksi Asam Sitrat dan Asam
Oksalat : Pengaruh Trioctylamine sebagai Extracting Power Dalam Berbagai
Solvern Campuran Terhadap Koefisien Distribusi. J.Kimia. Vol.12. No.2 hal.108.
Martin,
Alfred, dkk. 2009. Farmasi Fisik
Dasar-Dasar Kimia Fisik Dalam Ilmu Farmasetik. Penerbit UI-Press. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar